RUU KUHAP Dibahas Komisi III Bersama Para Akademisi

https://blkbanyuwangi.com/

blkbanyuwangi.com – Ada yang menarik minggu ini di Senayan. Komisi III DPR RI kembali menggelar pembahasan serius terkait Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau yang lebih akrab disebut RUU KUHAP. Kali ini, pembahasannya melibatkan para akademisi dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia.

Langkah ini jadi sinyal bahwa pembaruan hukum pidana tak main-main. Komisi III seolah ingin membuktikan bahwa proses revisi KUHAP bukan sekadar formalitas, tapi memang butuh masukan dari berbagai pihak yang paham betul soal hukum dan keadilan.

Kenapa RUU KUHAP Perlu Dibahas Lagi?

RUU KUHAP sebenarnya bukan barang baru. Sudah sejak beberapa tahun lalu drafnya wara-wiri di meja parlemen. Tapi, revisi ini kerap tertunda karena banyak pasal yang kontroversial atau dinilai belum sesuai dengan perkembangan hukum dan HAM internasional. Nah, sekarang sepertinya momen yang tepat untuk digarap lebih serius.

Komisi III menyadari bahwa KUHAP yang saat ini berlaku sudah ketinggalan zaman. Bayangin aja, undang-undang ini dibuat tahun 1981, alias sudah berumur lebih dari empat dekade. Banyak prosedur hukum yang belum relevan lagi dengan situasi sekarang, apalagi di era digital seperti ini.

Siapa Saja Akademisi yang Diundang?

Diskusi ini nggak main-main, lho. Beberapa profesor dan doktor dari universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, hingga Universitas Padjadjaran ikut duduk bareng Komisi III. Mereka membahas isu-isu penting dalam RUU KUHAP, seperti soal penahanan, penyitaan, hak tersangka, hingga pengawasan peradilan.

Dalam forum terbuka itu, banyak pandangan menarik yang muncul. Misalnya, beberapa akademisi menyoroti pentingnya perlindungan hak tersangka sejak awal proses penyidikan. Mereka juga menyarankan agar sistem peradilan dibuat lebih transparan dan tidak terlalu bergantung pada pengakuan tersangka, yang kadang-kadang bisa diperoleh dengan cara yang tidak fair.

Peran Komisi III: Serius atau Gimik?

Keterlibatan akademisi kali ini bikin banyak pihak optimis. Komisi III terlihat serius ingin membenahi proses hukum pidana di Indonesia. Anggota dewan pun terlihat terbuka mendengar kritik dan saran dari kalangan kampus. Bahkan, ada beberapa anggota yang mengakui bahwa KUHAP saat ini cenderung “lebih melindungi penyidik ketimbang rakyat.”

Diskusi ini juga jadi ajang evaluasi pasal-pasal yang dianggap tumpang tindih atau berpotensi multitafsir. Misalnya, soal penggunaan alat bukti elektronik yang belum diatur secara tegas di KUHAP lama, padahal sekarang hampir semua proses hukum melibatkan rekaman CCTV, chat, atau jejak digital lainnya.

Apa Harapan ke Depannya?

Tentu saja, publik berharap RUU KUHAP ini bisa segera rampung dan disahkan, tapi dengan kualitas yang baik. Jangan sampai buru-buru cuma demi mengejar target legislasi tahunan. Apalagi, hukum acara pidana menyangkut hak asasi manusia dan keadilan, jadi perlu ketelitian ekstra.

Para akademisi juga berharap agar diskusi ini tidak berhenti di ruang rapat saja, tapi juga melibatkan masyarakat sipil, LSM, bahkan mantan narapidana atau penyidik yang pernah bersentuhan langsung dengan sistem hukum. Dengan begitu, revisi KUHAP bisa benar-benar berpihak pada keadilan substantif, bukan hanya sekadar normatif.

Revisi KUHAP bukan perkara mudah, tapi kalau dikerjakan bareng-bareng, hasilnya bisa lebih adil dan manusiawi. Kita tunggu saja langkah-langkah selanjutnya dari Komisi III. Semoga bukan cuma janji di awal, tapi benar-benar tuntas demi hukum yang lebih berpihak pada rakyat.