Mahmoud Khalil Bebas, Kisah Penahanan yang Guncang Kepercayaan pada Keadilan AS

Mahmoud Khalil Bebas, Kisah Penahanan yang Guncang Kepercayaan pada Keadilan AS

blkbanyuwangi.com – Lebih dari tiga bulan sejak Mahmoud Khalil diborgol oleh agen imigrasi berpakaian preman di lobi apartemennya di Manhattan, pria 30 tahun itu akhirnya menghirup udara bebas. Dengan tubuh yang kelelahan tapi semangat yang tetap menyala, ia kembali ke New York setelah menjalani masa penahanan yang penuh ketidakpastian di Jena, Louisiana.

Khalil, lulusan Columbia University dan pemegang green card, menjadi mahasiswa pertama yang ditahan oleh pemerintahan Trump terkait aksi protes pro-Palestina. Kepada blkbanyuwangi.com, ia menyebut penangkapannya sebagai bentuk penculikan. “Semua informasi soal hak-hak imigran yang saya baca terasa sia-sia. Tidak ada hak yang berlaku dalam situasi itu,” ujarnya.

Tuduhan Lemah, Tekanan Emosional Nyata

Meski tidak pernah didakwa melakukan tindak pidana, Khalil dituduh oleh Menteri Luar Negeri Marco Rubio sebagai ancaman terhadap kebijakan luar negeri AS. Tuduhan ini didasarkan pada partisipasinya dalam unjuk rasa mahasiswa yang menyoroti perang di Gaza dan kebijakan investasi kampus terhadap industri senjata.

Namun Khalil menegaskan, “Saya tidak melakukan tindakan antisemitik. Saya hanya menyuarakan hak rakyat saya dan menolak dana pendidikan digunakan untuk mendukung kekerasan.”

Penangkapan yang Tinggalkan Luka Mendalam

Kejadian malam 8 Maret itu masih membekas kuat. Khalil baru pulang makan malam bersama istrinya, Noor Abdalla, yang saat itu tengah hamil delapan bulan. Dua pria mengejarnya ke dalam gedung dan langsung memborgolnya tanpa menunjukkan surat penahanan.

Saat dibawa, ia sempat menduga akan langsung dideportasi. Namun, ia justru dikirim ke pusat penahanan di Louisiana—lebih dari 1.000 mil dari rumahnya. Di sana, ia tinggal bersama 70 pria lain dalam kondisi yang ia sebut tanpa privasi dan tanpa kepastian hukum.

Dari Balik Jeruji, Suara Perlawanan Tetap Menggema

Alih-alih menyerah, Khalil justru memanfaatkan waktu di dalam sel untuk membantu sesama tahanan. Ia menjadi penerjemah bagi mereka yang kesulitan berkomunikasi dan membantu menjelaskan hak-hak mereka ke pihak penjara. Ia juga membaca buku-buku seputar ketahanan mental dan sejarah penahanan massal di AS.

Namun yang paling menghantuinya adalah kenyataan bahwa ia tak diizinkan mendampingi istrinya saat melahirkan anak pertama mereka. “Tak ada yang bisa menggantikan momen itu,” katanya dengan suara lirih.

Hakim Tolak Alasan Hukum Pemerintah

Pada akhir Mei, hakim federal di New Jersey memutuskan bahwa undang-undang yang digunakan untuk menahan Khalil kemungkinan inkonstitusional. Hakim Michael E. Farbiarz akhirnya memberikan jaminan bebas kepada Khalil dan memerintahkan pemerintah menghentikan penahanan berdasarkan aturan tersebut.

Meski begitu, proses deportasi terhadap Khalil masih berlangsung di pengadilan imigrasi. Pihak Gedung Putih dan Departemen Keamanan Dalam Negeri tetap bersikeras bahwa kasus ini bukan soal kebebasan berbicara, melainkan tentang keamanan nasional dan tuduhan simpati terhadap Hamas—yang sejauh ini belum pernah terbukti secara hukum.

Judul 2:

Dibebaskan, Mahmoud Khalil Janji Terus Bela Palestina dan Imigran

Aktivisme Tak Padam, Justru Menguat

Khalil mengaku bebasnya ia hari ini bukan berarti keadilan sudah ditegakkan. “Saya bebas, tapi mereka yang membuat saya melewati neraka masih bebas berkeliaran,” ujarnya. Ia menilai, sistem keadilan AS hanya berpihak pada yang punya uang dan sesuai dengan definisi sempit “nilai-nilai Amerika” versi pemerintah saat ini.

Meski begitu, Khalil tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur. Ia justru menyatakan siap melanjutkan perjuangannya untuk Palestina dan hak-hak imigran. “Apa yang terjadi justru memperkuat keyakinan saya bahwa perjuangan ini benar,” tegasnya.

blkbanyuwangi.com akan terus mengikuti perkembangan kasus ini dan dinamika seputar kebebasan berpendapat serta perlakuan terhadap aktivis imigran di Amerika Serikat.