RUU KUHAP 2025 Dibedah! Komisi III Gandeng Akademisi Bahas Poin Krusial
Halo, Sobat Hukum atau kamu yang sekadar penasaran dengan dunia hukum! Belakangan ini, Komisi III DPR RI lagi serius membahas Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana alias RUU KUHAP. Nah, pembahasannya nggak main-main loh, karena melibatkan para akademisi dari berbagai kampus ternama. Artinya, ini bukan sekadar wacana, tapi benar-benar ada usaha untuk memperbaiki sistem hukum acara pidana kita yang udah usang dan butuh pembaruan.
Sebagai info, KUHAP yang kita pakai sekarang itu buatan tahun 1981. Yup, udah lebih dari 40 tahun umurnya! Bayangin aja, zaman sekarang sudah era digital, tapi hukum acaranya masih mengacu ke aturan yang lahir di masa mesin tik dan belum ada internet. Wajar dong kalau sekarang banyak desakan agar KUHAP direvisi supaya lebih relevan dengan kondisi masyarakat dan teknologi saat ini.
Kenapa RUU KUHAP Ini Penting Banget?
Kita bahas dari yang paling dasar dulu, ya. KUHAP itu adalah “aturan main” dalam proses hukum pidana di Indonesia. Jadi, mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan, sampai ke proses persidangan, semua diatur di KUHAP. Nah, karena aturannya udah jadul, banyak proses hukum yang sekarang dianggap nggak transparan, berlarut-larut, dan kadang malah merugikan hak-hak tersangka maupun korban.
Makanya, pembaruan KUHAP ini diharapkan bisa menyentuh berbagai aspek penting, misalnya:
-
Memperkuat asas keadilan restoratif
-
Menyederhanakan proses hukum agar tidak bertele-tele
-
Mengatur mekanisme pemeriksaan elektronik (sidang online)
-
Memperjelas batas kewenangan penegak hukum
Intinya sih, biar hukum kita makin adil dan responsif terhadap perkembangan zaman.
Para Akademisi Turun Gunung
Nah, dalam rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar Komisi III beberapa waktu lalu, hadir para akademisi dari berbagai perguruan tinggi, mulai dari UI, UGM, Undip, sampai Universitas Andalas. Mereka diundang bukan cuma buat duduk manis, tapi benar-benar diminta masukannya. Banyak dari mereka menyampaikan bahwa KUHAP baru harus memberi perlindungan yang seimbang, baik untuk tersangka maupun korban.
Salah satu poin yang ramai dibahas adalah soal penyadapan dan penahanan. Akademisi menilai, penyadapan harus diatur ketat agar tidak melanggar hak privasi warga negara. Selain itu, mereka juga mendorong agar proses penahanan dilakukan lebih manusiawi dan transparan, bukan semata-mata karena wewenang aparat.
Yang menarik, para akademisi juga menyoroti pentingnya menjadikan asas keadilan restoratif sebagai dasar utama dalam RUU KUHAP. Artinya, nggak semua kasus harus berakhir di meja hijau. Kalau bisa diselesaikan secara damai, kenapa nggak?
DPR Siap Tampung Masukan
Komisi III sendiri kelihatan cukup terbuka dengan kritik dan masukan dari para akademisi. Ketua Komisi III menyatakan bahwa pihaknya ingin RUU KUHAP ini benar-benar komprehensif dan tidak buru-buru disahkan hanya karena mengejar target legislasi. Mereka ingin, ketika RUU ini disahkan nanti, masyarakat benar-benar bisa merasakan perubahan positif dalam sistem hukum pidana kita.
Bahkan, Komisi III juga membuka ruang diskusi lebih luas dengan elemen masyarakat sipil, LSM, praktisi hukum, sampai korban kejahatan. Jadi, bukan cuma dari sisi teoritis, tapi juga dari pengalaman nyata di lapangan.
Penutup: Saatnya Bergerak ke Depan
Revisi KUHAP ini bukan cuma sekadar ganti pasal atau perbaikan redaksi hukum. Ini adalah momen penting buat membenahi sistem hukum pidana kita secara menyeluruh. Dengan melibatkan akademisi, praktisi, dan masyarakat luas, harapannya KUHAP baru nanti bisa lebih adil, efisien, dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Kalau kamu peduli soal hukum dan masa depan keadilan di Indonesia, yuk ikuti terus perkembangan RUU KUHAP ini. Jangan sampai kamu baru kaget ketika sudah disahkan dan berdampak langsung ke masyarakat. Saatnya hukum acara pidana Indonesia naik kelas!