Rwanda Marah Dengan Sanksi AS Atas Kekerasan di RD Kongo

Rwanda Marah Dengan Sanksi AS Atas Kekerasan di RD Kongo

Sanksi AS Atas Kekerasan di RD Kongo – Rwanda mengecam sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat terkait dugaan keterlibatannya dalam kekerasan di Republik Demokratik Kongo (RD Kongo). Sanksi ini memperbesar tekanan internasional terhadap Rwanda, yang sebelumnya juga mendapat tindakan serupa dari Jerman dan Kanada.

Jerman Menangguhkan Bantuan untuk Rwanda – Sanksi AS Atas Kekerasan di RD Kongo

Pada Maret 2025, Jerman menangguhkan bantuan pembangunan baru untuk Rwanda. Keputusan ini diambil karena dugaan dukungan Rwanda terhadap kelompok pemberontak M23 di timur RD Kongo. Kementerian Pembangunan Jerman membatasi kerja sama bilateral, meninjau ulang proyek-proyek yang ada, serta menangguhkan partisipasi tingkat tinggi dalam acara pembangunan di Rwanda.

Uni Eropa mendesak Rwanda menarik pasukannya dan menghentikan dukungan terhadap M23. Sementara itu, Presiden Rwanda, Paul Kagame, membenarkan kehadiran militernya di Kongo. Sekitar 4.000 tentara Rwanda dikabarkan beroperasi bersama M23, yang kini menguasai provinsi Kivu Utara dan Selatan. Rwanda menuding negara-negara seperti Inggris gagal mendorong solusi damai di Kongo.

Kanada Menghentikan Ekspor dan Kerja Sama Dagang

Kanada juga menangguhkan izin ekspor barang dan teknologi ke Rwanda. Selain itu, Kanada menghentikan bisnis dan misi dagang antar pemerintah yang baru serta mempertimbangkan kembali partisipasi dalam acara internasional yang diselenggarakan oleh Rwanda. Langkah ini sejalan dengan kebijakan Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat.

Konflik yang melibatkan M23, yang dipimpin oleh etnis Tutsi, menyebabkan lebih dari 7 juta orang mengungsi. Rwanda membantah mendukung M23 dan mengklaim mereka hanya membela diri dari milisi etnis Hutu. Meski ada penangguhan bantuan, Rwanda menegaskan tindakan tersebut tidak akan menyelesaikan konflik.

Tuduhan Pembersihan Etnis dan Krisis Kemanusiaan

Pemerintah RD Kongo menuduh M23 melakukan “pembersihan etnis” di wilayah timur negara itu. Menteri Dalam Negeri RD Kongo, Jacquemain Shabani, mengecam pengusiran paksa penduduk lokal di Rutshuru dan Masisi, Kivu Utara. Tuduhan ini menguat setelah M23 menunjuk administrator di daerah yang mereka kuasai. Lebih dari 100 kelompok bersenjata terus bersaing menguasai wilayah kaya mineral di timur Kongo, menyebabkan jutaan orang mengungsi.

Gencatan senjata yang disepakati pada Juli tidak menghentikan pertempuran antara M23 dan kelompok milisi lainnya. Akibatnya, lebih dari 500.000 orang mengungsi, sementara kota Goma semakin terancam oleh konflik yang berpotensi berkembang menjadi perang regional.

Respons Internasional dan Usulan Sanksi Tambahan

RD Kongo menyerukan sanksi lebih ketat terhadap Rwanda untuk menghentikan dukungan terhadap M23. Amerika Serikat dan Uni Eropa mengutuk keterlibatan Rwanda yang, menurut laporan PBB, mencakup pengerahan pasukan dan suplai senjata untuk M23. Menteri Komunikasi RD Kongo, Patrick Muyaya, menekankan pentingnya sanksi guna menegakkan perdamaian dan hukum internasional.

Meski Rwanda membela tindakannya sebagai bentuk bela diri, kementerian kesehatan RD Kongo melaporkan banyak korban jiwa di Goma. Sejumlah negara berupaya menangani krisis ini melalui pertemuan regional pada 7-8 Februari yang melibatkan para pemimpin Afrika selatan dan timur. Sementara itu, Prancis mengusulkan peningkatan tekanan terhadap Rwanda melalui rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB.

Kekejaman Milisi M23 dan Dampaknya

Laporan kekejaman oleh M23 semakin memperburuk situasi. Di Rubaya, Kivu Utara, milisi M23 dituduh membantai enam anak dengan alu dan lesung kayu. Korban lain, seperti Isabel, menceritakan pengalaman mengerikan terkait pemerkosaan dan penculikan yang semakin meningkat di wilayah tersebut.

Didukung Rwanda, pemberontak M23 terus memperluas pengaruhnya di RD Kongo dengan tujuan menguasai sumber daya mineral yang menguntungkan. Meskipun ada bukti kejahatan perang, sanksi internasional terhadap Rwanda masih terbatas karena aliansi strategisnya dengan AS, Inggris, dan Uni Eropa. Rwanda diduga memanfaatkan pengaruhnya untuk menghindari hukuman, sementara jutaan orang terus mengungsi dalam kondisi yang memburuk.

Konflik ini mencerminkan ketegangan geopolitik masa lalu dan menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi aneksasi wilayah. Ketidakaktifan komunitas internasional semakin disorot, sementara krisis kemanusiaan di RD Kongo terus meningkat.