Partai-partai Berseteru Soal Dana Bencana Korban Kebakaran Hutan Menunggu Nasib

Partai-partai Berseteru Soal Dana Bencana Korban Kebakaran Hutan Menunggu Nasib

Di tengah asap tebal yang masih menyelimuti wilayah terdampak kebakaran hutan, para korban terus menanti bantuan yang tak kunjung datang. Ribuan orang terpaksa mengungsi, kehilangan tempat tinggal, bahkan kehilangan akses terhadap air bersih dan layanan kesehatan. Ironisnya, di balik penderitaan tersebut, dinamika politik di parlemen justru lebih sibuk dengan perselisihan soal alokasi dana bencana.

Dalam beberapa minggu terakhir, konflik antarpartai memuncak setelah pemerintah mengajukan revisi anggaran darurat untuk penanganan kebakaran hutan. Beberapa partai oposisi menuding pemerintah tidak transparan dalam penggunaan anggaran sebelumnya, bahkan menyebut ada indikasi penyalahgunaan dana bantuan bencana tahun lalu.

Sementara itu, partai-partai pendukung pemerintah membalas dengan menyebut sikap oposisi sebagai “politik pencitraan”, yang hanya memperlambat proses pencairan dana dan menyandera kepentingan rakyat demi agenda politik.

Pertarungan Narasi di Tengah Bencana

Di satu sisi, Partai Reformasi Rakyat (PRR) menegaskan bahwa pemerintah perlu diaudit sebelum diberikan anggaran tambahan. Menurut juru bicara PRR, laporan pertanggungjawaban atas dana penanganan bencana tahun lalu belum sepenuhnya terbuka untuk publik. “Kami tidak menolak bantuan untuk korban. Tapi kami ingin ada transparansi. Jangan sampai dana rakyat digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu,” katanya dalam sebuah konferensi pers.

Namun Partai Nasional Maju (PNM), yang merupakan bagian dari koalisi pemerintah, menyebut bahwa penundaan pencairan dana justru memperburuk keadaan di lapangan. “Ini bukan saatnya bermain politik. Ribuan warga sedang menderita. Jika kita terus ribut di parlemen, yang jadi korban adalah rakyat sendiri,” ujar Ketua Fraksi PNM.

Korban Menunggu, Birokrasi Berbelit

Sementara adu argumen terus terjadi di Senayan, realitas di lapangan sungguh memilukan. Di beberapa wilayah terdampak, posko bantuan hanya mampu menyediakan makanan seadanya, sementara obat-obatan semakin menipis. Banyak anak-anak dan lansia yang mengalami gangguan pernapasan akibat asap pekat yang belum juga hilang.

“Sudah seminggu kami di pengungsian, bantuan hanya datang sekali. Itu pun tidak cukup,” kata Ratna, seorang pengungsi di Kalimantan Tengah. Ia mengaku kecewa karena merasa seolah-olah nasib mereka diabaikan oleh pemerintah.

Laporan dari LSM lingkungan menyebutkan bahwa dalam kondisi darurat seperti ini, kecepatan distribusi dana sangat krusial. Setiap keterlambatan, terutama yang disebabkan tarik-menarik politik, dapat berdampak langsung pada keselamatan warga.

Pakar: Politik Anggaran Harus Responsif

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Wahyu Pamungkas, mengatakan bahwa konflik antarpartai dalam situasi bencana merupakan cermin dari lemahnya sistem manajemen krisis nasional. “Semestinya ada protokol darurat yang membebaskan dana bencana dari tarik-menarik politik. Negara-negara lain punya sistem seperti itu, menghindari politisasi bantuan,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa alokasi dana bencana seharusnya ditempatkan di luar anggaran politik rutin dan diawasi oleh lembaga independen untuk mencegah korupsi tanpa menghambat kecepatan bantuan.

Rakyat Jadi Tumbal Politik

Kisruh politik soal dana bencana menambah panjang daftar ironi dalam penanganan kebakaran hutan di Indonesia. Di saat para politisi saling menyalahkan, ribuan warga harus bertahan dalam kondisi serba kekurangan. Tak hanya kehilangan rumah dan harta, mereka juga kehilangan harapan bahwa negara benar-benar hadir dalam situasi krisis.

Jika konflik ini tak segera diakhiri, dampak sosial dan ekologis kebakaran hutan bisa menjadi lebih luas. Pada akhirnya, rakyat biasa yang tak punya kekuasaan atau panggung politik, kembali menjadi korban utama dalam drama panjang pertarungan elite.