Masalah Kapasitas Kepolisian dalam Penanganan Kasus Pemerkosaan dan Kekerasan Seksual di Indonesia
Masalah Kapasitas Kepolisian – Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), banyak pihak menyambutnya dengan harapan besar untuk menangani permasalahan kekerasan seksual di Indonesia dengan lebih serius. UU ini memberikan dasar hukum yang lebih kuat untuk melindungi korban dan menetapkan sanksi tegas terhadap pelaku. Meskipun undang-undang baru ini dirancang untuk melindungi korban dengan lebih baik, kenyataannya masih banyak kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual yang tidak dibawa ke pengadilan.
Salah satu masalah utama dalam penanganan kekerasan seksual adalah kapasitas kepolisian yang terbatas. Meski undang-undang baru memberikan kewenangan lebih luas kepada aparat penegak hukum, termasuk polisi, untuk menangani kasus-kasus tersebut, beberapa faktor membuat proses penegakan hukum terhambat, terutama dalam hal kapasitas sumber daya manusia, infrastruktur, serta pelatihan khusus bagi aparat.
1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) – Masalah Kapasitas Kepolisian dalam Penanganan Kasus
Keterbatasan SDM menjadi alasan utama mengapa banyak kasus kekerasan seksual tidak sampai ke pengadilan. Di banyak wilayah, terutama daerah terpencil, jumlah personel kepolisian terlatih untuk menangani kasus kekerasan seksual masih sangat terbatas. Kasus-kasus ini seringkali membutuhkan penyelidikan mendalam, pemeriksaan saksi, pengumpulan bukti sensitif, serta perlindungan korban agar mereka tidak merasa terintimidasi atau dihakimi. Semua ini memerlukan polisi dengan pengetahuan dan keahlian khusus dalam menangani trauma psikologis dan menjalankan proses hukum dengan sensitif.
Namun, banyak petugas kepolisian yang belum menerima pelatihan khusus tentang cara menangani kasus kekerasan seksual dengan sensitif dan sesuai prosedur. Akibatnya, kasus seringkali tidak ditangani dengan serius, atau korban merasa tidak mendapat dukungan emosional, sehingga mereka enggan melapor atau melanjutkan kasus.
2. Kurangnya Fasilitas dan Infrastruktur Pendukung
Selain keterbatasan SDM, masalah infrastruktur juga menghambat penanganan kasus kekerasan seksual. Di beberapa daerah, fasilitas pemeriksaan medis bagi korban kekerasan seksual, seperti rumah sakit atau klinik dengan tenaga medis terlatih, masih sangat minim. Bukti-bukti fisik dalam kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual sangat penting untuk membawa pelaku ke pengadilan. Namun, korban seringkali tidak segera mendapatkan pemeriksaan medis yang memadai karena jarak, waktu, atau kurangnya fasilitas yang memadai.
Selain itu, sistem pelaporan dan dokumentasi kasus kekerasan seksual yang terintegrasi dan efisien juga masih menjadi masalah. Banyak kasus yang tidak tercatat dengan baik atau hilang begitu saja karena proses administrasi yang rumit dan tidak transparan.
3. Stigma Sosial dan Hambatan Psikologis bagi Korban
Selain masalah teknis di pihak kepolisian, faktor sosial juga sangat mempengaruhi, yakni stigma yang melekat pada korban kekerasan seksual. Banyak korban, terutama perempuan, enggan melapor ke polisi karena takut dihina atau diperlakukan tidak adil. Dalam masyarakat yang masih patriarkal, korban seringkali disalahkan atas kejadian yang menimpa mereka. Akibatnya, banyak kasus kekerasan seksual tidak pernah dilaporkan.
Dampak psikologis yang dialami korban pemerkosaan dan kekerasan seksual juga membuat mereka merasa tertekan dan cemas menghadapi proses hukum. Tidak sedikit korban yang merasa melapor ke polisi atau mengikuti jalannya pengadilan hanya akan memperburuk kondisi mental mereka, karena proses hukum seringkali memakan waktu lama dan penuh prosedur rumit.
4. Solusi untuk Meningkatkan Kapasitas Penanganan Kasus Kekerasan Seksual
Beberapa langkah perlu diambil oleh pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk mengatasi masalah ini. Pertama, penting untuk meningkatkan pelatihan bagi aparat kepolisian, terutama di unit yang menangani kekerasan seksual. Pelatihan tentang sensitivitas gender, psikologi korban, serta prosedur investigasi yang benar sangat penting untuk memastikan polisi dapat menangani kasus kekerasan seksual secara profesional dan empatik.
Kedua, perlu ada peningkatan fasilitas dan infrastruktur, baik medis maupun administrasi. Rumah sakit yang memiliki fasilitas pemeriksaan untuk kasus kekerasan seksual harus diperbanyak, dan sistem pelaporan serta dokumentasi harus diperbaiki agar lebih transparan dan efisien.
Terakhir, pendekatan sosial juga sangat penting. Kampanye untuk mengurangi stigma terhadap korban kekerasan seksual harus diperkuat, dan dukungan psikologis yang memadai harus diberikan kepada korban. Dengan lingkungan yang lebih mendukung, diharapkan korban lebih berani melapor dan mengikuti proses hukum yang ada.
Kapasitas kepolisian dalam menangani kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual di Indonesia memang menghadapi berbagai kendala. Namun, dengan perbaikan dalam pelatihan aparat, peningkatan fasilitas, serta perubahan paradigma sosial terkait kekerasan seksual, harapan untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih adil bagi korban bukanlah hal yang mustahil. Peran aktif pemerintah, masyarakat, dan lembaga penegak hukum sangat menentukan dalam menanggulangi masalah ini secara menyeluruh.